Saturday, June 9, 2007

Kemuliaan Di Balik Cacian

Diantara kaum kita ada yang hobi mencaci-maki. Rasulullah, jarang membalas cacian orang. Di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan. Seorang laki-laki datang menemui Abu Bakar. Tanpa ba-bi-bu lelaki tersebut mencaci maki salah seorang sahabat nabi yang sangat beliau cintai ini. Rasulullah Salallaahu 'alaihi
wassalam yang saat itu tengah duduk di sampingnya, tampak terheran-heran sambil tersenyum melihat Abu Bakar diam saja. Namun ketika kata makian semakin banyak Abu Bakar pun meladeninya. Rasulullah bangkit dengan wajah tidak suka dengan sikap Abu Bakar itu. Beliau berdiri dan Abu Bakar mengikutinya. "Ya Rasulullah, tadi dia mencaci makiku namun engkau tetap duduk. Tapi ketika kuladeni sebagian kata-katanya, engkau marah dan berdiri. Mengapa demikian ya Rasulullah?"tanya Abu_bakar.
"Sesungguhnya bersamamu ada malaikat,kemudian dia berpaling dari padamu. Ketika engkau meladeni perkataannya, datanglah syaitan dan aku tak sudi duduk bersama syaitan itu," jawab Rasul. Kemudian beliau meneruskan nasihatnya,"Tidak teraniaya seseorang karena penganiayaan yang ia sabar memikulnya kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan dan kebesaran."(HR. Imam Ahmad dari Abu Kabsyah AlAnmari)

Ridha
Tidak ada suatu pun kejadian, bahkan selembar daun yang terjatuh pun, melainkan sudah di
dalam skenario Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Begitu pula apa pun yang menimpa kita dalam hidup keseharian. Mulai dari peristiwa besar hingga yang kecil semua telah direncanakan oleh
Allah.

Karena itu sikap orang yang beriman dalam menghadapi segala kejadian diterimanya dengan
hati lapang dan ridha; sebagai hidangan dari Allah. Musibah yang secara lahiriah merugikan,
bagi orang yang bersabar justru ladang mendapatkan pahala di sisi-Nya.

"Kami (Allah) akan memberikan kepada orang- orang yang berhati sabar itu pahala menurut
amalan yang telah mereka kerjakan dengan sebaik- baiknya." ( Surat . An Nahl: 96)

Salah satu kejadian yang mungkin sering terjadi dalam pergaulan adalah perkataan yang tidak
menyenangkan, caci maki misalnya. Agar tidak sia-sia, menghadapi hal seperti ini perlu
sikap yang tepat. Sikap Abu Bakar yang mampu bersabar menahan diri dan diam saja, membuat
Rasul tersenyum. Namun pada saat Abu Bakar mulai meladeni caci makian, Rasul pun
menunjukkan sikap tidak menyukainya. Padahal yang dilakukan Abu Bakar hanya meladeni
sebagian kata-katanya saja. Lalu bagaimana dengan sikap kebanyakan kita selama ini?

Boro-boro menahan diri. Bahkan seringkali lebih emosional dan balasan spontan yang
dilancarkan justru lebih gencar dari umpan caci makiannya. Dengan muka merah dan suara
marah meledak-ledak meluncurlah kata-kata yang lebih tajam lagi. Bukan hanya menjawab
sebagian kata-kata, tetapi satu kata malah dibalas dengan sepuluh kata. Naudhubillah.

Sikap emosional dan kehilangan kendali seperti itu, merupakan tanda kurang ridha dengan
kejadian. Kita lupa bahwa apa yang terjadi sesungguhnya merupakan kiriman Allah untuk
menguji sikap kita. Saat emosional seperti itu pusat orientasi bukan lagi ingin meraih
ridha Allah, tetapi sekadar melampiaskan hawa nafsu. Dar der dor yang penting terpuaskan.
Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana sikap Rasul andai bersama kita. Yang beliau lakukan barangkali tidak hanya bangkit dan berdiri, tapi berlari menjauh. Sebab setan yang merubung
kita terlalu banyak.

Dengan menyadari bahwa tiada kejadian yang kebetulan kecuali atas kehendak Allah, hati akan
ridha. Sikap inilah yang dibutuhkan agar kita tetap terkendali.

Bayangkanlah bahwa kita sedang menyaksikan episode sinetron tiga dimensi luar biasa yang
diskenario oleh Allah. Nikmatilah caci makiannya seperti sedang menyaksikan bintang yang
berakting di layar kaca. Bila mulai terpancing, ucapkan istighfar dan orientasikan hati
pada ridha Allah, tentu akan membuat pikiran lebih tenang. Dengan suasana spiritual seperti
itu malaikat yang bersama kita tetap mendampingi.

Sikap marah-marah dan emosional, justru menjerembabkan kita pada kenistaan. Maunya membela
kehormatan, tetapi dengan ucapan balasan yang lebih tajam justru menunjukkan kualitas
ruhani kita. Malaikat malah menyingkir dan yang datang merubung malah setan. Tidak hanya
kehilangan kehormatan di depan manusia, tetapi juga di depan Allah dan Rasulnya.

Memilih

Seringkali respon tindakan seseorang ditentukan oleh keadaan. Kalau yang diterima caci maki
maka reaksinya juga caci maki. "Yah, kami tidak ada pilihan lagi kecuali membalasnya. Dia
telah menghina kehormatan kami, maka kami pun menghinanya untuk membela diri." Demikian
alasan yang dikemukakan.

Manusia sesungguhnya tidak semata ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga oleh dirinya
sendiri. Bahkan sebagian orang malah mampu mempengaruhi lingkungan.

Mereka mencairkan lingkungan yang beku, memperbaiki keadaan yang buruk. Menghadapi keadaan yang ada manusia diberi kemampuan memilih. Saat menghadapi caci maki, seorang dapat merenungkan dalam hati, apa tindakan terbaik yang ingin dilakukan; diam atau membalas.

"Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menentreramkan jiwa dan hati. Dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati." (HR.Imam Ahmad)

Kita akan dapat memilih tindakan terbaik jika dilandasi sikap ridha. Dengan menyadari bahwa
semua dari Allah akan membuat hati tetap bening dan pikiran juga jernih. Akhirnya yang
muncul tindakan terpilih.

Suara hati yang mendorong nilai-nilai kebaikan tetap terdengar. Pikiran pun dapat memilih
kata yang paling tepat dan lisan mengucapkannya dengan indah, tidak asal nerocos. Tentu
saja akan berbeda halnya jika caci maki dihadapi dengan sikap emosional. Hati dikuasai hawa
nafsu dan amarah sedangkan pikiran pun jadi kotor. Akhirnya yang mengalir di lisan adalah
kata-kata kotor bahkan lebih tajam lagi.

Sebenarnya, seorang yang mencaci maki dengan kata-kata kotor tidak akan membuat orang lain rendah kecuali merendahkan dirinya sendiri. Kata-kata kotor yang keluar dari mulut, lebih
menunjukkan siapa yang mengatakan dari pada siapa yang dikata-katai. Kotor kata-katanya,
berarti kotor pula pikirannya. Jadi sebenarnya tanpa membalasnya, sudah cukup orang lain
menilai siapa yang sesungguhnya lebih buruk itu. Tapi bila kita membalas caci makian itu
dengan caci maki yang lebih tajam dan berlebihan, malah menunjukkan keburukan sisi jiwa
kita. Sikap berlebihan dalam membalas itu justru membuat kita sama-sama terjerembab bersama orang yang mencaci itu.

Hikmah

Allah menghadapkan kita pada keadaan yang tidak kita senangi itu tentu ada hikmahnya.
Dengan sikap ridha kita dapat menjadikan caci maki sebagai alat evaluasi diri. Tidak mudah
lho melihat kekurangan diri. Dari yang dikatakan itu mungkin ada yang tidak sesuai, tapi
beberapa bagian sebenarnya agak sesuai juga. Bahkan kalau mau jujur kita masih perlu
bersyukur; bahwa Allah masih menutupi aib-aib kita. Apa yang dikatakan itu sebenarnya belum
seberapa dari semua kekurangan kita. Dengan demikian kita terhindar dari sikap sombong dan
sok sempurna. Kita tersadar merasa masih banyak kekurangan dan lebih terpacu lagi
memperbaiki diri.

Dicacimaki juga memberi pengalaman tak telupakan. Ternyata kata-kata tajam itu bisa membuat hati ini terluka. Barangkali tanpa kita sadari kita pernah mencaci maki teman atau orang lain, dan kemudian melupakan begitu saja setelah melampiaskan. Padahal luka hati akibat caci maki itu sulit disembuhkan.

Nah, jika kita merasa tidak enak dicaci maki, sadarlah bahwa orang lain pun seperti itu
juga. Karenanya terdorong dari pengalaman berharga itu segeralah bertobat dan mintalah maaf
kepada orang yang pernah kau sakiti. Engkau tidak akan bisa menanggung beban di akhirat
kelak menghadapi pengadilan Allah. Amal-amalmu habis beralih tangan pada orang lain yang
kau dzalimi itu. Sedangkan dosa-dosa orang yang kau dzalimi ditimbunkan pada dirimu. Itulah
orang yang bangkrut menurut Rasul.

Setelah mendapatkan hikmah yang sangat besar itu, kita pun dapat lebih berlapang dada. Caci
makian yang menimpa kita itu ternyata seperti jamu. Meski terasa pahit, ternyata dapat
menyehatkan jiwa. Oleh sebab itu kita perlu berlatih bagaimana sikap terbaik menghadapi
caci makian agar kejadian yang diskenario Allah itu tidak sia-sia. Justru menjadi ladang
kita mendapat kemuliaan dan kebesaran di sisi-Nya.

Dicontohkan dalam sejarah; kita ketahui Rasul pun tak luput mendapatkan makian bahkan lebih keras lagi. Penduduk Thaif yang diajaknya pada kebenaran tidak menyambutnya dengan baik,
justru menyambutnya dengan olokan, lemparan batu dan potongan besi. Wajah, badan dan kaki
beliau pun berdarah-darah. Namun yang dilakukan beliau tidak membalasnya tapi justru
mendoakan; Allahummahdi qawmi. Innahum laa ya'lamuun.

"Ya Allah berilah petunjuk kaumku itu. Karena sesesungguhnya mereka tiada mengetahui."
Caci makian tidak membuat beliau terhina, malah sebaliknya membuat namanya kian mulia dan besar. Coba bayangkan jika Rasul juga membalasnya dengan olokan emosional yang lebih tajam,
tentu akan lain ceritanya.

Memang terasa sulit membayangkan. Namun bila kita menyadari hikmah yang demikian banyak di balik cacian.
Rasanya orang yang mencaci maki kita itu memang tak layak dibalas dengan cacian. Karena di
balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan dan kebesaran di sisi Allah yaitu
dengan bersabar. Jadi sudah selayaknya orang yang membukakan peluang kesadaran, dan kemuliaan itu kita
maafkan. Bahkan kita bisa mendoakan semoga dia mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah menjadi lebih baik. Bukankah doa orang yang terdzalimi makbul? [Hanif Hannan. Tulisan ini diambil dari rubrik 'Hikmah' majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Comments :

0 comments to “Kemuliaan Di Balik Cacian”

Post a Comment

Waktu dan Cuaca Kuwait

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by PERWIRA KUWAIT, Admin By Asep Pahrudin